Kamis, 07 Agustus 2014

Mata Uang Paling Tua di Indonesia

Nusantara pada masa lalunya dapat dikatakan sebagai zambrud khatulistiwa, adalah salah satu kawasan yang sudah mempunyai peradaban yang cukup tinggi dan maju pada zamannya.

Semua itu tak terlepas karena posisi geografis kepulauan Nusantara yang berada diatas khatulistiwa, kawasan yang selalu dapat ditanami tiap saat akibat tersinari matahari sepanjang tahun.

Juga karena kandungan geologinya, terbentuknya pulau-pulau di Nusantara yang menyembul diatas laut, menjadikannya pulau yang aslinya adalah gunung dan pegunungan, membuat kawasan itu mempunyai banyak kandungan tambangnya.
Borobudur temple

Borobudur temple

Dengan sumber alamnya yang kaya dan sangat banyak, tak heran jika di kawasan ini sudah banyak sekali terdapat pasar-pasar besar ditiap kerajaannya.

Pasar-pasar yang pada masa kini mungkin sekelas “free trade area” di Nusantara tersebut, selalu ramai disinggahi oleh kerajaan-kerajaan lainnya nan jauh berada disebrang samudera selama berabad-abad lamanya.

Perdagangan di pasar-pasar besar di Nusantara tersebut tak hanya terkenal di negeri jiran, namun juga terkenal hingga di kerajaan-kerajaan manca negara seperti daerah Cina, India,  Arab, hingga oleh kerajaan-kerajaan di benua Afrika.

Nusantara yang kaya akan alamnya, membuat tak ada putusnya kerajaan-kerajaan nan jauh disana selalu berusaha ingin menjalin hubungan perdagangan dengan kerajaan-kerajan di Nusantara yang hasil buminya melimpah.
Majapahit Mojopahit Multikultur

Salah satu suasana pasar tradisional di zaman kerajaan-kerajaan masih berjaya di Nusantara

Namun dalam urusan mata uang, Nusantara masih terbilang muda dalam mengenal mata uang sebagai alat pembayaran. Karena pada masa itu, kebanyakan mereka masih menggunakan cara barter, baik dengan hasil perkebunan, ternak ataupun beberapa jenis keping logam tarmasuk perak dan emas tapi bukan berupa mata uang resmi kerajaan.

Tercatat pada sejarah, bahwa negeri ini baru mempunyai uang resmi pada sekitar abad ke 8, itupun karena adanya pengaruh dari mitra negara-negara tetangga, yang juga berdagang disaat itu namun sudah mempunyai mata uangnya sendiri (seperti Arab, China dan India).

Sejarah uang Indonesia dimulai sejak masa jaya Kerajaan Mataram Kuno, yakni sekitar tahun 850 M. Kerajaan ini menggunakan koin-koin emas dan perak berbentuk kotak sebagai alat tukarnya. Berikut ini adalah 10 daftar mata uang tertua di Nusantara yang telah diketahui atau telah ditemukan sampai saat ini:
1. Uang era Dinasti Syailendra (850 M)

Uang_Syailendra Javanese_gold_mas_or_tahilMata uang Indonesia dicetak pertama kali sekitar tahun 850/860 Masehi, yaitu pada masa kerajaan Mataram Syailendra yang berpusat di Jawa Tengah. Inilah bukti terawal sistem mata uang yang ada di pulau Jawa dan di Nusantara.

Terbuat dari emas atau disebut pula sebagai keping tahil Jawa, sekitar abad ke-9. Koin-koin tersebut dicetak dalam dua jenis bahan emas dan perak, mempunyai berat yang sama dan mempunyai beberapa nominal satuan:

    Masa (Ma), berat 2.40 gram – sama dengan 2 Atak atau 4 Kupang
    Atak, berat 1.20 gram – sama dengan ½ Masa, atau 2 Kupang
    Kupang (Ku), berat 0.60 gram – sama dengan ¼ Masa atau ½ Atak

Sebenarnya masih ada satuan yang lebih kecil lagi, yaitu ½ Kupang (0.30 gram) dan 1 Saga (0,119 gram).

Koin emas zaman Syailendra berbentuk kecil seperti kotak, dimana koin dengan satuan terbesar (Masa) berukuran 6 x 6/7 mm saja. Pada bagian depannya terdapat huruf Devanagari “Ta”.

Di belakangnya terdapat incuse (lekukan ke dalam) yang dibagi dalam dua bagian, masing-masing terdapat semacam bulatan. Dalam bahasa numismatic, pola ini dinamakan “Sesame Seed”.

Sedangkan koin perak Masa mempunyai diameter antara 9-10 mm. Pada bagian muka dicetak huruf Devanagari “Ma” (singkatan dari Masa) dan di bagian belakangnya terdapat incuse dengan pola “Bunga Cendana”.
2. Uang Krishnala, Kerajaan Jenggala (1042-1130 M)

Uang Krishnala Coin, Kerajaan JenggalaPada zaman Kerajaan Jenggala (1042-1130-an) dan Kerajaan Daha (1478-1526) uang-uang emas dan perak tetap dicetak dengan berat standar, walaupun mengalami proses perubahan bentuk dan desainnya. Koin emas yang semula berbentuk kotak berubah desain menjadi bundar, sedangkan koin peraknya mempunyai desain berbentuk cembung dengan diameter antara 13-14 mm.

Pada waktu itu, uang kepeng Cina yang didatangkan oleh para pedagang Cina sebagai alat tukar dan barter begitu banyak, sehingga saking banyak jumlahnya yang beredar maka akhirnya dipakai juga secara “resmi” sebagai alat pembayaran, menggantikan secara total fungsi dari mata uang lokal emas dan perak.

Kerajaan Janggala, adalah salah satu dari dua pecahan kerajaan yang dipimpin oleh Airlangga dari Wangsa Isyana. Kerajaan ini berdiri tahun 1042, dan berakhir sekitar tahun 1130-an. Lokasi pusat kerajaan ini sekarang diperkirakan berada di wilayah Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.

Sedangkan Kerajaan Negara Daha, adalah sebuah kerajaan Hindu (Syiwa-Buddha) yang pernah berdiri di Kalimantan Selatan satu zaman dengan kerajaan Islam Giri Kedaton. Kerajaan Negara Daha merupakan pendahulu Kesultanan Banjar. Pusat pemerintahan/ibukotanya ada di Muhara Hulak atau Negara (di tepi sungai Negara dan berjarak 165 km di sebelah utara Kota Banjarmasin, sekarang kecamatan Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan).

Sedangkan bandar perdagangan dipindahkan dari pelabuhan lama Muara Rampiau (sekarang desa Marampiau) ke pelabuhan baru di Bandar Muara Bahan (sekarang kota Marabahan, Barito Kuala). Kerajaan Negara Daha merupakan kelanjutan dari Kerajaan Negara Dipa yang saat itu berkedudukan di Kuripan/Candi Agung, (sekarang kota Amuntai).
3. Uang “Ma” Kerajaan Majapahit (Abad ke-12)

uang ma coin majapahit abad-12
Bendera Kerajaan Majapahit

Bendera Kerajaan Majapahit

Mata uang Jawa dari emas dan perak yang ditemukan kembali termasuk di situs kota Majapahit ini, kebanyakan berupa perkembangan dari dinasti sebelumnya, uang “Ma”, (singkatan dari Māsa) zaman dinasti Syailendra (pada poin nomer 1) yang dalam huruf Nagari atau Siddham, kadang kala dalam huruf Jawa Kuno.

Di samping itu beredar juga mata uang emas dan perak dengan satuan tahil, yang ditemukan kembali berupa uang emas dengan tulisan “ta” dalam huruf Nagari (pada poin nomer 1). Kedua jenis mata uang tersebut memiliki berat yang sama, yaitu antara 2,4 – 2,5 gram.
Majapahit Empire

Majapahit Empire

Selain itu masih ada beberapa mata uang emas dan perak berbentuk segi empat, ½ atau ¼ lingkaran, trapesium, segitiga, bahkan tak beraturan sama sekali.

Uang ini terkesan dibuat apa adanya, berupa potongan-potongan logam kasar; yang dipentingkan di sini adalah sekedar cap yang menunjukkan benda itu dapat digunakan sebagai alat tukar.

Tanda “tera” atau cap pada uang-uang tersebut berupa gambar sebuah jambangan dan tiga tangkai tumbuhan atau kuncup bunga (teratai?) dalam bidang lingkaran atau segi empat.

Jika dikaitkan dengan kronik Cina dari zaman Dinasti Song (960 – 1279) yang memberitakan bahwa di Jawa orang menggunakan potongan-potongan emas dan perak sebagai mata uang, mungkin itulah yang dimaksud.
4. Uang Gobog Wayang, Kerajaan Majapahit (Abad k-13)

Uang Gobog Wayang Coin, Majapahit Kingdom, 13th CenturyPada zaman Majapahit, keping koin ini dikenal atau disebut sebagai “Gobog Wayang”, dimana untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Thomas Raffles, dalam bukunya The History of Java.
Majapahit Soldier

Majapahit Soldier

Bentuknya bulat dengan lubang kotak ditengah karena pengaruh dari koin cash dari Cina ataupun koin-koin serupa lainnya yang berasal dari Cina atau Jepang.

Koin Gobog Wayang adalah asli buatan lokal, namun tidak digunakan sebagai alat tukar (hanya sebagai koin token).

Sebenarnya koin-koin ini digunakan untuk persembahan di kuil-kuil seperti yang dilakukan di Cina ataupun di Jepang sehingga disebut juga sebagai “koin-koin kuil”.

Setelah redup dan runtuhnya kerajaan Majapahit di Jawa Timur pada sekitar tahun 1528, maka mulai muncul kerajaan Banten di Jawa bagian barat. Kerajaan Banten dikenal juga sebagai kerajaan dengan ibukota dagangnya yang semakin ramai.
5. Uang Dirham, Kerajaan Samudera Pasai (1297 M)

Uang-Dirham-Kerajaan-Samudra-PasaiKesultanan Pasai, juga dikenal dengan Samudera Darussalam, atau Samudera Pasai, adalah kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatera, kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara, Provinsi Aceh, Indonesia.

Belum begitu banyak bukti arkeologis tentang kerajaan ini untuk dapat digunakan sebagai bahan kajian sejarah. Namun beberapa sejarahwan memulai menelusuri keberadaan kerajaan ini bersumberkan dari Hikayat Raja-raja Pasai, dan ini dikaitkan dengan beberapa makam raja serta penemuan koin berbahan emas dan perak dengan tertera nama rajanya.

Mata uang emas dari Kerajaan Samudera Pasai untuk pertama kalinya dicetak oleh Sultan Muhammad yang berkuasa sekitar tahun 1297-1326 Masehi.

Mata uangnya disebut “Dirham” atau “Mas” dan mempunyai standar berat 0,60 gram (berat standar Kupang).

Namun ada juga koin-koin Dirham Pasai yang sangat kecil dengan berat hanya 0,30 gram (1/2 dari Kupang atau 3 kali Saga). Uang Mas Pasai mempunyai diameter 10–11 mm, sedangkan yang 1/2 Mas berdiameter 6 mm.

Pada hampir semua koinnya ditulis nama Sultan dengan gelar “Malik az-Zahir” atau “Malik at-Tahir”. Nama dirham menunjukkan pengaruh kuat pedagang Arab dan budaya Islam di kerajaan tersebut.
6. Uang Kampua, Kerajaan Buton (Abad ke-14)

kampua butonUang yang sangat unik ini dinamakan Kampua, dibuat dari bahan kain tenun dan merupakan satu-satunya jenis “uang dari kain tenun” yang pernah beredar di Indonesia. Berasal dari Kerajaan Buton, Sulawesi Tenggara.

Buton adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah tenggara Pulau Sulawesi. Pada zaman dahulu di daerah ini pernah berdiri Kerajaan Buton yang kemudian berkembang menjadi Kesultanan Buton. Satu lembar uang Kampua senilai dengan satu butir telur di masanya.

Pulau Buton, Sulawesi Tenggara

Menurut cerita rakyat Buton, Kampua pertama kali diperkenalkan oleh Bulawambona, Ratu kerajaan Buton yang kedua, yang memerintah sekitar abad XIV sebelum Kerajaan Buton menjadi Kesultanan.

Setelah ratu meninggal, lalu diadakan suatu “pasar” sebagai tanda peringatan atas jasa-jasanya bagi kerajaan Buton.

Pada pasar tersebut orang yang berjualan mengambil tempat dengan mengelilingi makam Ratu Bulawambona.

Setelah selesai berjualan, para pedagang memberikan suatu upeti yang ditaruh diatas makam tersebut yang nantinya akan masuk ke kas kerajaan. Cara berjualan ini akhirnya menjadi suatu tradisi bagi masyarakat Buton, bahkan sampai dengan tahun 1940.

Buton dikenal dalam Sejarah Indonesia karena telah tercatat dalam naskah Nagarakretagama karya Prapanca pada Tahun 1365 Masehi dengan menyebut Buton atau Butuni sebagai Negeri (Desa) Keresian atau tempat tinggal para resi dimana terbentang taman dan didirikan lingga serta saluran air. Rajanya bergelar Yang Mulia Mahaguru. Nama Pulau Buton juga telah dikenal sejak zaman pemerintahan Majapahit. Patih Gajah Mada dalam Sumpah Palapa, menyebut nama Pulau Buton.
7. Uang Kasha Banten, Kesultanan Banten (Abad ke-15)

uang Kasha Kesultanan Banten
Bendera Kesultanan Banten

Bendera Kesultanan Banten

Kesultanan Banten merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri dan sekarang lokasi wilayahnya persis berada di Provinsi Banten, Indonesia.

Berawal sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukan beberapa kawasan pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan.

Seiring dengan kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Trenggana (dikenal juga sebagai Tung Ka Lo adalah raja Demak ketiga 1505-1518 dan 1521-1546.), Banten yang sebelumnya vazal dari Kerajaan Demak, mulai melepaskan diri dan menjadi kerajaan yang mandiri.

Kesultanan Banten

Mata uang dari Kesultanan Banten pertama kali dibuat sekitar 1550-1596 Masehi.

Bentuk koin Banten mengambil pola dari koin cash Cina yaitu dengan lubang di tengah, dengan ciri khas persegi 6 pada lubang tengahnya (heksagonal).

Inskripsi bagian muka pada mulanya dalam bahasa Jawa: “Pangeran Ratu”.

Namun setelah mengakarnya agama Islam di Banten, inskripsi diganti dalam bahasa Arab, “Pangeran Ratu Ing Banten”.

Terdapat beberapa jenis mata-uang lainnya yang dicetak oleh Sultan-sultan Banten, baik dari tembaga ataupun dari timah, seperti yang ditemukan pada beberapa tahun yang lalu.
8. Uang Jinggara, Kesultanan Gowa (Abad ke-16)

Uang_JinggaraDi daerah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, berdiri kerajaan Gowa dan Buton. Kerajaan Gowa pernah mengedarkan mata uang dan emas yang disebut “Jinggara”.

Salah satunya dikeluarkan atas nama Sultan Hasanuddin, raja Gowa yang memerintah pada tahun 1653-1669. Selaing itu beredar juga uang dari bahan campuran timah dan tembaga yang disebut “Kupa”.

Kesultanan Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan besar dan paling sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku Makassar yang berdiam di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi.

Wilayah kerajaan ini sekarang berada di bawah Kabupaten Gowa dan beberapa bagian daerah sekitarnya. Kerajaan ini memiliki raja yang paling terkenal bergelar Sultan Hasanuddin, yang saat itu melakukan peperangan yang dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669) terhadap VOC yang dibantu oleh Kerajaan Bone yang dikuasai oleh satu wangsa Suku Bugis dengan rajanya Arung Palakka.
9. Uang Picis, Kesultanan Cirebon (1710 M)

Uang_Picis
Bendera Kesultanan Cirebon

Bendera Kesultanan Cirebon

Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi, dan merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau.

Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Hal itu membuatnya menjadi pelabuhan dan “jembatan” antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.

Sultan yang memerintah kerajaan Cirebon pernah mengedarkan mata uang yang pembuatannya dipercayakan kepada seorang Cina. Uang timah yang amat tipis dan mudah pecah ini berlubang segi empat atau bundar di tengahnya, disebut Picis.

Uang koin jenis Picis ini dibuat sekitar abad ke-17. Di sekeliling lubang ada tulisan Cina atau tulisan berhuruf Latin yang berbunyi “CHERIBON”.
10. Uang Real Batu, Kesultanan Sumenep (1730 M)

Uang_Real_Batu

Symbol Keraton Sumenep

Kerajaan Sumenep di Madura mengedarkan mata uang yang berasal dari uang-uang asing yang kemudian diberi cap bertulisan Arab berbunyi “SUMANAP” sebagai tanda pengesahan.

Uang kerajaan Sumenep yang berasal dari uang Spanyol disebut juga “Real Batu” karena bentuknya yang tidak beraturan.

Pada masanya Kerajaan ini sebenarnya bernama Kadipaten Sumenep (atau sering dikenal sebagai Kadipaten Madura), adalah sebuah monarki yang pernah menguasai seluruh Pulau Madura dan sebagian daerah tapal kuda. Pusat pemerintahannya berada di Kota Sumenep sekarang.

Pada tahun 1269, dimasa pemerintahan Arya Wiraraja wilayah ini berada dibawah pengawasan langsung Kerajaan Singhasari dan Kerajaan Majapahit. Pada tahun 1559, dimasa pemerintahan Kanjeng Tumenggung Ario Kanduruwan, wilayah yang terletak di Madura Timur ini berada pada kekuasaan penuh Kesultanan Demak dan baru pada pemerintahan Pangeran Lor II yang berkuasa pada tahun 1574, wilayah Kadipaten Sumenep berada dibawah pengawasan langsung Kasultanan Mataram.

Pada tahun 1705, akibat perjanjian Pangeran Puger dengan VOC, wilayah ini berada dalam kekuasaan penuh Pemerintahan Kolonial. Selama Sumenep jatuh kedalam wilayah pemerintahan Hindia-Belanda, wilayah ini tidak pernah diperintah secara langsung, para penguasa Sumenep diberi kebebasan dalam memerintah wilayahnya namun tetap dalam ikatan-ikatan kontrak yang telah ditetapkan oleh Kolonial Kala itu.

Selanjutnya pada tahun 1883, Pemerintah Hindia Belanda mulai menghapus sistem sebelumnya (keswaprajaan), Kerajaan-kerajaan di Madura termasuk di Sumenep dikelola langsung oleh Nederland Indische Regening dengan diangkatnya seorang Bupati. Semenjak itulah, sistem pemerintahan Ke-adipatian di Sumenep berakhir. (wikipedia/ berbagai sumber)

Alkisah…

Alkisah…. dahulu kala, dimana emas masih menjadi alat pembayaran di dunia seperti mata uang emas dirham, dinar dan lainnya, dikala itupun negara miskin akan emas, terpuruk. Lalu nan terpuruk menciptakan mata uang lainnya tanpa kandungan emas didalamnya, currency.

Dibuat currency hanya dari logam biasa, bahkan hanya dari secarik kertas. Hanya menaruhkan angka, hanya angka yang tertera. Lalu, emas ditukarkan dengan currency. Emas ditukar kertas, gila. Yang kaya emas pun menjualnya. Menukar emasnya menjadi secarik kertas.

Yang terpuruk, kertas ciptaannya ditukar emas, lebih gila. Maka emas ditimbun jua oleh yang terpuruk, kayalah ia. Maka, yang tadinya kaya emas bertukar menjadi yang terpuruk.

Disaat ekonomi mengguncang, yang sebenarnya kaya emas, tiada emas. Yang terpuruk justru kaya akan emas, tertimbun, menggunung. Maka, duniapun dibalik, walau tetap berputar.

Sang terpuruk pun bermain, bermain dengan licik, karena emasnya menggunung, mempermainkan yang tadinya kaya, menggurasnya jua, mempermainkan dunia, uang, power, kontrol, sejak ia menciptakan logam biasa, bahkan hanya dari secarik kertas, lalu, ditukar EMAS.

Selamat lahir di dunia yg fana, jangan khawatir, karena bisa jadi ini hanya untuk sementara saja. (penulis, IndoCropCircles.wordpress.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar